MENAPAK SEJARAH SINJAI
I. PENDAHULUAN.
Sinjai
sebagai salah satu Daerah Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan adalah bagian dari wilayah Negara Republik
Indonesia. Kita semua mengetahui bahwa suatu daerah tidak langsung hadir begitu
saja,
tetapi setiap daerah mempunyai peroses sejarah
sendiri-sendiri. Itulah yang menyebabkan sehingga daerah- daerah di Indonesia
masing-masing mempunyai tahun kelahiran tersendiri.
Untuk
itu, Sinjai sebagai salah satu daerah
kabupaten tingkat II yang merupakan bagian dari wilayah negara Republik
Indonesia juga menetapkan hari jadinya berdasarkan hasil seminar penelusuran
hari jadi Sinjai pada 2 - 3 September 1994
maka ditetapkan hari jadi Sinjai dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9
Tahun 1996 seri D tentang Penetapan Hari Jadi Sinjai setiap 27 Februari. Adapun tahun yang dijadikan
tonggak sejarah kelahiran Sinjai di dasarkan pada tahun diadakannya Perjanjian
Topekkong (Lamung Patue) sekitar 1564
(abad ke-16).
Dari
berbagai asumsi tentang Sinjai yang telah disampaikan oleh para ahli sejarah
dan budayawan di dalam seminar penelusuran hari jadi Sinjai yang dijadikan
sumber informasi sehingga Sinjai Dari Masa Kemasa dapat ditulis secara global
agar generasi dan masyarakat Sinjai dapat mengenal asal usulnya. Atas dasar
itulah dapat diharapakan solidaritas dan kekompakan dapat dibangun dan
berkiprah secara bersama untuk melihat Sinjai kedepan.
Dengan adanya pemahaman bersama, bahwa masyarakat Sinjai yang sekarang
ini bersumber dari satu maka diharapkan tidak terjadi lagi ada orang Sinjai
yang tidak mengetahui asal usulnya. Karena merupakan suatu kejanggalan
jika seseorang mengaku putera dari suatu
daerah, tetapi sama sekali tidak mengetahui asal usul dan kondisi daerah
asalanya. Dengan demikian, dianggap perlu membeberkan informasi ini kepada
generasi masyarakat Sinjai tentang sejarah keberadaan daerahnya.
B. Pengertian
Dalam konteks Sinjai Dari Masa Kemasa dapat dipahami bahwa penulisan
sejarah Sinjai haruslah disajikan mulai dari awal mula adanya manusia yang menjadi
penghuni wilayah Sinjai melalui fase
sejarah panjang dari masa kemasa sehingga dapat terbentuk suatu pemerintahan
yang pengelolaannya disesuaikan dengan perkembangan masa.
Jadi Sinjai Dari Masa Kemasa tidak lain hanya memberikan informasi global
sejarah panjang tentang Sinjai agar generasi kita dapat mengetahui dan
kemungkinannya dapat lebih mendalami dan menelusuri kembali tapak-tapak sejarah
masa lalu hingga kini, utamanya yang perlu ditelusuri dan dihayati adalah nilai
kesejarahan yang terjadi pada masa tertentu sebagai acuan analisis untuk merangkai masa depan
Sinjai.
C. Tujuan dan Sasaran
Sinjai dari masa kemasa, merupakan suatu hasil kegiatan penelusuran yang
mengacu kepada catatan-catan sejarah keberadaan Sinjai dari masa lalu hingga
kini sebagaimana yang telah dilansir oleh para budayawan dan pakar sejarah pada
saat diadakan seminar penelusuran hari jadi Sinjai ditambah dengan penuturan pelaku sejarah yang
dianggap dapat memberikan penjelasan.
Tujuan dan sasaran yang akan dicapai dalam penulisan Sinjai dari masa
kemasa dimaksudkan sebagai informasi
global kepada masyarakat Sinjai termasuk
generasi mudanya, baik yang berdomisili
dalam wilayah kabupaten Sinjai maupun masyarakat Sinjai
yang ada di luar Sinjai, dengan harapan
agar dapat menghayati nilai-nilai kesejarahan yang dapat diemban merupakan
pencerminan jati diri sebagai masyarakat religius, ramah dan sosial, teguh dalam memegang amanah, komitmen
terhadap kesepakatan, senantiasa
berusaha memelihara persatuan dan kesatuan sebagai perwujudan nilai perjanjian
topekkong (lamung patue).
D. Sistimatika Penulisan
Sinjai dari masa kemasa dituangkan dalam tulisan, dipenggal-penggal
sesuai dengan masa, situasi dan kondisi Sinjai dari masa kemasa sehingga
tersusun dalam sistimatika sebagai berikut :
- Pada bagian I merupakan pendahuluan, isinya meliputi latar belakang sehingga Sinjai dari masa kemasa ditulis. Dalam bab ini juga memberikan pengertian sehingga maksud Sinjai dari masa kemasa dituangkan kedalam tulisan, demikian pula sasaran yang akan dicapai.
- Pada bagian II dari tulisan ini menuangkan selayang pandang kondisi sosial masyarakat Sinjai sebagai suatu rangkaian gambaran masalah nilai yang perlu dihayati dan diwujudkan oleh masyarakat Sinjai yang berasal dari satu sumber keturunan.
- Pada bagian III mengungkap asal usul Sinjai yang bermula dari adanya manusia pertama yang menjadi penghuni wilayah Sinjai hingga terbentuk kerajaan-kerajaan dan kelompok kerajaan. Demikian pula asumsi masyarakat dalam pemberian nama Sinjai.
- Pada bagian IV mengemukakan posisi wilayah Sinjai masa lalu sebagai daerah lintas batas antara kerajaan Gowa dan Bone sehingga kerajaan yang ada membentuk dua kelompok kerajaan “ Pitu limpoe’ dan Tellu Limpoe’ “ untuk pertahanan wilayah. Juga dikemukakan upaya kerajaan mendamaikan antara kerajaan Gowa dan Bone sehingga lahir perjanjian dan dibuat dalam bentuk simbol (Lamung Patue’ ri Topekkong). Dikemukakan pula peroses masuknya Belanda di Sinjai sehingga dapat menduduki wilayah kerajaan Sinjai dan memugar Benteng Tellu Limpoe’ di Balangnipa.
- Pada bagian V menjelaskan posisi Sinjai setelah kemerdekaan tercapai hingga peroses peralihan pemerintahan.
- Pada bagian VI menampilkan Kepala Daerah Sinjai dari periode keperiode dan kegiatannya masing-masing selaku kepala pemerintahan.
- Pada bagian VII merupakan penutup dari rangkaian tulisan ini yang di dalamnya memuat kesimpulan dan harapan penulis untuk dilengkapi dan dikembangkan sehingga catatan ini dapat berkesinambungan sesuai dengan perkembangan.
II. SELAYANG
PANDANG MASYARAKAT SINJAI
Sinjai dari masa kemasa, merupakan
suatu masalah yang perlu disajikan dengan dasar pemikiran bahwa suatu
kejanggalan yang dimiliki oleh sebuah komunitas masyarakat jika tidak
mengetahui asal-usulnya. Disamping itu, juga perlu diketahui bagaimana kiprah
masyarakat Sinjai pada masa dahulu yang semata-mata hanya memperoleh ilham dari
yang maha kuasa yang mewarnai pemikirannya sehingga terinspirasi untuk mengatur
kehidupannya baik di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya maupun di dalam mengatur
pemerintahan.
Untuk itu generasi kita harus memahami
kondisi nenek moyangnya dari segala sudut kehidupannya termasuk falsafah hidup
yang ditinggalkan untuk dijadikan patron di dalam mengembangkan Sinjai kedepan.
Artinya kita perlu menata kehidupan yang lebih maju, tetapi jangan hendaknya
kita meninggalkan nilai-nilai luhur sebagai warisan budaya. Disinilah makna
yang dapat dipetik sehingga setiap tahun diadakan acara peringatan hari jadi
Sinjai. Tanpa mempertahankan nilai-nilai luhur, dapat berarti masyarakat kita
akan kehilangan nilai dan dapat juga berarti masyarakat kita akan mengalami
pergantian generasi.
Dalam hal ini,, perlu kita mencontoh
ke Jepang yang sudah memasuki dunia Industri, tetapi nilai budaya masyarakatnya
masih dapat dipertahankan. Tidak sama
dengan kita, ketika mengadopsi budaya dan peradaban dari luar, seketika
itu hilang pula nilai budaya luhur kita.
Disinilah letak perlunya
kita menghayati dan membudayakan kembali nilai-nilai budaya leluhur kita, tidak
hanya kita mengadakan upacara seremonial belaka tanpa memetik makna tapak-tapak
sejarah yang dilalui oleh pendahulu kita yang konon sudah lebih dari empat
ratus tahun (HJS. Ke 442).
Umur
empat ratus tahun lebih merupakan umur yang cukup tua, tetapi sudah
sampai sejauh mana kemajuan yang
diperoleh bila dibandingkan
dengan daerah yang lebih muda. Hal ini
yang perlu kita evaluasi setiap tahun, tidak hanya sekedar menghitung apa yang
sebaiknya kita bagi-bagi dan membanggakan apa yang telah dicapai, tetapi kita
harus mencurahkan potensi berfikir untuk meningkatkan sumber daya masyarakat
agar dapat memiliki kemampuan berinovasi dan berkreatifitas untuk mengadakan
apa yang belum ada dan berusaha maksimal untuk sejajar dengan daerah yang lebih
muda dan sudah mengalami kemajuan tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya luhur
pendahulunya, seperti keteguhan di dalam
mempertahankan kebenaran, jujur dan konsekwen di dalam melaksanakan amanah,
memiliki komitmen keagamaan yang tinggi dan mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari, saling hormat menghormati dan memelihara persatuan dan
kesatuan, dan sebagainya. Apalagi masyarakat Sinjai bersumber dari satu
turunan, kemudian tersebar keberbagai
penjuru dalam wilayah Sinjai. Jadi wajarlah apabila kita saling menghargai,
saling menarik keatas, dan saling
menjunjung di atas landasan kebenaran seperti apa yang menjadi muatan
perjanjian topekkong.
III.
ASAL USUL SINJAI
Kabupaten Sinjai berdasarkan
penelusuran sejarah, dimulai dari pemukiman pertama di WAWO BULU Manipi
Kecamatan Sinjai Barat di sebelah timur Malino dipimpin oleh orang yang digelar
PUATTA TIMPAE’ TANA ataui TO PASAJA yaitu Arung Manurung Tanralili.
Keturunan Arung Tanralili, salah seorang
diantaranya adalah wanita yang kemudian puteri Tanralili inilah yang
mengembangkan wilayah Wawo Bulu menjadi Kerajaan TURUNGENG.
Raja wanita tersebut diperisterikan
oleh putera Raja Tallo yang kemudian salah seorang turunannya adalah wanita
kawin dengan salah seeorang putera Raja Bone. Dari hasil perkawinan itulah yang
kemudian melahirkan enam orang putera dan satu orang puteri. Akan tetapi
puterinyalah yang menggantikan ibunya menduduki tahta kerajaan di Turungeng.
Adapun keenam puteranya ditebarkan ke wilayah lain sehingga ada yang bermukim
di Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka, Bala Suka dan masing-masing berusaha
membentuk wilayah kekuasaan.
Dari keturunan Puatta Timpae’ Tana
atau To Pasaja inilah yang berhasil membentuk kerajaan dalam wilayah dekat
pantai yang dikenal dengan kerajaan Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti.
Untuk memelihara hubungan dan
keutuhan wilayah kerajaan yang bersumber dari satu keturunan, maka muncullah
gagasan dari I Topacebba (anak dari La Padenring) yang digelar Lamassiajingeng (Raja Lamatti
ke-X) berupaya mempererat hubungan Lamatti dengan Bulo-Bulo atas dasar semboyan
“ PASIJAI SINGKERUNNA LAMATTI BULO-BULO “
artinya satukan keyakinan / kekuatan Lamatti dengan Bulo-Bulo.
Penggagas dalam memelihara
persatuan Lamatti dan Bulo-Bulo saat meninggalnya digelar “ PUATTA MATINROE’ RISIJAINNA “.
Sinjai dalam ungkapan bahasa Bugis
bermakna satu jahitan. Sinjai artinya bersatu dalam jahitan. Dari istilah sijai
menjadi sinjai, merupakan suatu simbol dalam mempererat hubungan kekeluargaan,
menurut bahasa Bugis.
Dari pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan yang ada, muncul pemikiran baru tentang perlunya memperkuat persatuan
dan kesatuan dalam memelihara dan melindungi kerajaan yang ada, maka
dibentuklah kelompok gabungan kerajaan yang berbentuk vederasi yang dikenal
dengan :
1.
TELLU LIMPOE’, merupakan
persekutuan kerajaan yang berdekatan dengan pantai, yaitu Tondong, Bulo-Bulo,
dan Lamatti.
2.
PITU LIMPOE’, merupakan persekutuan
kerajaan yang berlokasi di daerah dataran tinggi , yaitu kerajaan Turungeng,
Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka, Balasuka.
Vederasi kerajaan Tellu Limpoe’ dan
Pitu Limpoe’ merupakan dua kekuatan yang akan membendung arus ekspansi dari
barat dan selatan, juga merupakan
kekuatan pertahanan untuk membendung arus ekspansi dari utara dan
penyelamatan garis pantai.
IV.
POSISI WILAYAH SINJAI MASA LALU.
Secara geografis, wilayah sinjai
menempati posisi strategis karena berada pada kawasan pantai dan pegunungan
yang merupakan lintas batas kerajaan Gowa dan Bone.
Antara kerajaan Gowa dan Bone
senantiasa bersaing dalam merebut pengaruh terhadap kerajaan tetangga sehingga
wilayah Sinjai merupakan wilayah yang diincer oleh kedua kerajaan tersebut.
Untuk mempertahankan wilayah garis
pantai, raja-raja Tellu Limpoe’
(Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo) bersepakat mendirikan benteng pertahanan
di Balangnipa pada tahun 1557 dan diberi nama benteng Tellu Limpoe’ atau Benteng
Balangnipa.
Melihat kondisi perkembanagan
gerakan kedua kerajaan tersebut (Gowa dan Bone), maka kerajaan-kerajaan kecil
yang dalam wilayah Sinjai menyatakan dirinya sebagai kerajaan yang berstatus
vederasi yang terbentuk menjadi dua kekuatan yang tidak dapat dipisahkan dalam
membendung pengaruh dari dua kerajaan besar.
Upaya pembentukan dua kekuatan
pertahanan, yaitu Pitu Limpoe’ dan Tellu Limpoe’ mengadakan kesepakatan untuk
mempertahankan wilayahnya dari pengaruh ekspansi Gowa dan Bone.
Oleh karena raja-raja yang ada
dalam wilayah Sinjai merasa dirinya sebagai satu sumber keturunan sehingga
kedua kekuatan tersebut ( Pitu Limpoe’
dan Tellu Limpoe’) menempuh jalan yang arif dengan bersikap netral menghadapi
kedua kerajaan tersebut. Sikap netral itulah sehingga menjadikan dirinya
sebagai mediator untuk melakukan perdamaian antara Gowa dan Bone.. Untuk itu
maka Tellu Limpoe’ maupun Pitu
Limpoe’ tidak melakukan pemihakan dalam
menghadapi kedua kerajaan tersebut sehingga berhasil mempertemukan kedua
kerajaan yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh. Dengan demikian maka
digagaslah suatu perundingan untuk perdamaian sehingga pada bulan Februari 1564
Raja Bulo-Bulo ke-VI La Mappasoko Lao Manoe’ Tanru’na berhasil mempertemukan
kedua kerajaan yang bertikai.
Dalam perundingan, kerajaan Gowa diwakili oleh I MANGERAI DAENG MAMETTA
dan kerajaan Bone diwakili oleh LATENRI RAWE BAONGKANGE yang disaksikan oleh
raja-raja yang ada dalam wilayah Sinjai, yaitu Raja La Padenring (Raja Lamatti
ke-VIII (bergelar Arung Mapali’e, suami I Daommo alias Mabbissuneng Eppa’e
Arung Bulo-Bulo), Iyottong Daeng Marumpa
Raja Tondong, dan La Mappasoko Lao Manoe’ Tanrunna mewakili Raja Bulo-Bulo.
Pertemuan antara Raja Bone dan Raja
Gowa diadakan di Topekkong Kalaka Sinjai kira-kira 3 km dari pusat kota Sinjai
(Balangnipa) dan berhasil melahirkan kesepakatan yang dikenal dengan PERJANJIAN
TOPEKKONG yang ditandai dengan LAMUNG PATUE’ RI TOPEKKONG (Penanaman batu
besar).
Lamung Patue’ merupakan simbol, bahwa bagian
batu yang tertanam dimaksudkan sebagai simbol penguburan sikap keras yang dapat
merugikan semua pihak. Batu yang muncul dipermukaan tanah, merupakan simbol
persatuan yang tak tergoyahkan.
Perjanjian Topekkong memuat :
1. MADDUMME TO
SIPALALO, artinya saling mengizinkan mencari tempat bernaung
MABBELLE TO SIPASORO, artinya saling
memberi keuntungan dalam menangkap ikan.
SEDDI PABBANUA PADA RIAPPUNNAI, artinya
satu penduduk kita miliki bersama
LEMPA ASEPA MAPPANNESSA, artinya pikulan
padi yang menentukan, kemana
padinya dibawa disitulah pilihannya.
2. MUSUNNA GOWA
MUSUNNA TO BONE NA TELLU LIMPOE’, MAKKUTOPI
ASSIBALINNA. Artinya musuh Gowa, juga musuh
Bone dan Tellu Limpoe’, begitu pula
sebaliknya.
3. SISAPPARENG
DECENG, TENG SISAPPARENG JA. Artinya saling mencari kebaikan,
tidak saling mencari kejelekan
(kekurangan).
SIRUI MENRE TE SIRUI NO. Artinya saling
menaikkan, tidak saling menjatuhkan
( menurunkan ).
MALILU SIPAKAINGE, MALI SIPARAPPE. Artinya
saling mengingatkan, saling
menyelematkan.
Oleh karena raja-raja yang ada dalam
wilayah Sinjai konsisten terhadap perjanjian Topekkong sehingga pada saat orang
Belanda mendatangi dan membujuk kerajaan Bulo-Bulo untuk memerangi kerajaan Gowa sebagai upaya
untuk memecah belah kerajaan yang ada di wilayah Sulawesi Selatan sehingga
puncak upaya Belanda untuk memecah belah terjadi pembunuhan terhadap orang-orang
Belanda pada 29 Februari 1636 M. / 22 Ramadhan 1057 H.
Pada tahun 1824 Gubernur Jenderal
Van Der Capellen datang dari Batavia membujuk I Cella Arung Bulo-Bulo XXI untuk
menerima perjanjian Bongaya, dan mengizinkan Belanda mendirikan loji ( Kantor
Perdagangan) di Lappa. Tetapi dengan tegas ditolak, sehingga pada saat itu
orang Belanda mengadakan penyerangan di bawah pimpinan Van Der Capellen,
sedangkan pasukan kerajaan Tellu Limpoe’ dipimpin oleh La Mandasini (Puatta
Mapute Isinna) sebagai Dulung (Panglima) Tellu Limpoe’dan Baso Kalaka yang
berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Ketika itu I Mappajaji alias I May Dg.
Sisila anak dari I Mappakana arung Bulo-Bulo sebagai Arung Lamatti ke-30.
Pada tahun 1859 pasukan Belanda
kembali mengadakan serangan besar-besaran melalui laut dan darat yang dipimpin
oleh Jenderal Van Swiaten. Oleh karena kekuatan tidak berimbang akhirnya Sinjai
direbut oleh Belanda . Dengan demikian maka pada 15 Nopember 1861 Gubernur
Sulawesi menetapkan daerah taklukannya Tellu Limpoe’ dijadikan wilayah pemerintahan
dengan sebutan Gester Districten. Oleh karena pasukan Belanda telah menaklukkan
kerajaan Tellu Limpoe’ maka Belanda berusaha mengadakan pemugaran benteng Tellu
Limpoe’ pada tahun 1864 - 1868 kemudian dijadikan markas pertahanan, sekaligus
sebagai tempat tahanan (bekasnya sudah tidak ada) dikenal dengan kandang macan.
Oleh karena Balangnipa pernah
dilanda banjir sehingga benteng Balangnipa kemasukan air, maka Belanda berusaha
memindahkan tahanan di Balobboro dalam bentuk kandang macan beberapa buah yang
tidak beratap. Adapun bekas tahanan di balobboro penulis masih dapat melihat
sekitar tahun 1969, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi, bahkan sudah menjadi
pemukiman penduduk.
Jadi untuk membuktikan kekejaman
kolonial terhadap pribumi sudah mengalami kesulitan karena bukti yang menjadi
saksi sejarah sudah tiada.
Pada 24 Februari 1940 Gubernur
Grote Gost menetapkan pembagian wilayah administrasi untuk daerah timur besar
termasuk Residensi Celebes di mana daerah Sinjai bersama dengan beberapa daerah
lainnya berstatus Onther Afdeling dalam wilayah Afdeling Bonthain. Sedangkan
Onther Afdeling Sinjai dibagi atas
beberapa Adats Gemencap, yaitu : Cost Bulo-Bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti
West, Manipi dan Turungeng.
Pada masa pendudukan Jepang,
struktur pemerintahan ditata kembali sesuai kebutuhan bala tentara Jepang yang
bermarkas di Gojeng.
Perjuangan pemuda untuk
mempertahankan kemerdekaan semakin tinggi sehingga pemuda-pemuda membentuk organisasi
SUDARA (Sumber Darah Rakyat) yang disponsori oleh Abd. Razak Simarajalelo, KRIS
MUDA (Kebaktian Rakyat Islam Muda) dan lain-lain.
Oleh karena posisi Sinjai merupakan daerah yang strategis
dan ditopang oleh semangat juang yang tinggi sehingga sebagian pemuda yang akan
ikut berjuang di Jawa menjadikan daerah pantai Sinjai sebagai tempat transit ke
Jawa, demikian pula yang berasal dari Jawa.
Kondisi masyarakat Sinjai sangat
antusias menyambut dan mempertahankan kemerdekaan sehingga para pejuang tidak
henti-hentinya mengadakan konsolidasi dan koordinasi untuk mengadakan
perlawanan yang dipimpin oleh M. Syurkati Said, M. Yahya Mathan, M. Sultan
Isma, M. Dahlan Isma, A. M. Saleh, Abdul Hai, M. Sattar, Mukmin dan lain-lain
yang mendapat dukungan rakyat Sinjai, kecuali yang merasa ada hubungan dengan
Belanda.
V. POSISI SINJAI
SETELAH KEMERDEKAAN TERCAPAI
Kemerdekaan Negara Indonesia diproklamirkan dalam sebuah Proklamasi pada
17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Soekarno dan Hatta. Atas dasar itu maka
berakhirlah kekuasaan Jepang di Indonesia dan menyerahkan kedaulatan itu kepada
bangsa Indonesia untuk mengatur pemerintahannya sehingga sturktur pemerintahan
di Sinjai masih tetap berada di bawah Daerah Swatantra Tingkat II Bonthain yang
membawahi Bonthain sendiri, Sinjai, Bulukumba, dan Selayar dengan status
Kewedanaan.
Pemerintah Jepang di Makassar mengirim
Abd. Razak Simarajalelo (orang Sumatera) ke Sinjai (seorang pejuang yang
berada di Makassar) untuk menerima penyerahan pemerintahan di Sinjai. Setelah
itu, Abd. Razak Simarajalelo melanjutkan
penyerahan. Pemerintahan di Sinjai
kepada H. A. Mappatoba (Arung Bulo-Bulo Timur) maka resmilah Pemerintahan di
Sinjai dipegang oleh bangsa Indonesia pada 19 Agustus 1945.
H. A. Mappatoba menjadi Kepala Pemerintahan R. I. (KPRI) Dalam bentuk
Kewedanaan Di Sinjai dengan membawahi
Distrik Lamatti, Bikeru, Manimpahoi, dan Manipi.
Dalam perjalanan pemerintahan KPRI
terjadi perubahan istilah pemerintahan menjadi Kepala Pemerintahan Negeri
(KPN), pada masa ini pemerintahan dipergang oleh Abd. Razak Dg. Patunru (orang
Bulukumba), kemudian beralih kepada Ahmad Marsuki Dg. Marala (Ayah Laica
Marsuki SH.). Selanjutnya pemerintahan beralih kepada Puatta Indar (Sinjai),
kemudian beralih kepada Laode Hibali (orang Buton) pada tahun 1955. Selanjutnya
kepala pemerintahan beralih kepada A. Attas (orang Bone), kemudian pindah
kepada A. Jamuddin ( orang Bone), kemudian pindah kepada Bustan (Mantan Kepala
Daerah Wajo). Pada saat ini berakhirlah istilah Kewedanaan dan Distrik diubah
menjadi Daerah Swatantra Tingkat II Sinjai (Daswati II Sinjai), dan Distrik
diubah menjadi Kecamatan sehingga Kepala Pemerintahan menjadi Kepala Daerah dan
Camat pada tahun 1959. Dari Daswati diubah lagi menjadi Dati II Kabupaten
Sinjai dan kepala pemerintahannya bergelar Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Kabupaten Sinjai. Istilah Dati II
Kabupaten Sinjai berubah menjadi Kabupaten Sinjai dan kepala pemerintahannya
bergelar Bupati Sinjai. (Wawancara H. M. Sattar,14 Fabruari 2006, Drs. Ahmad
Nuruddin).
Perubahan sistem pemerintahan
tersebut terjadi karena berdasarkan UURI. No. 29 Tahun 1959 yang mengatur
pemerintahan dan pemekaran serta pembentukan
Daerah Swatantra Tingkat II. Atas
dasar UURI tersebut Sinjai ditingkatkan statusnya dari Kewedanaan di bawah
naungan Bonthain sehingga pada 29 Oktober 1959 Sinjai resmi menjadi Daerah
SwatantraTingkat II Sinjai yang dipimpin oleh Mayor A. Abd. Latief sebagai
Kepala Daerah yang pertama dan dilantik pada 27 Februari 1960. Jadi secara deyure Sinjai baru memasuki umur
46 tahun.
Setelah perang mempertahankan
kemerdekaan usai, maka kekuasaan berada di tangan bangsa Indonesia masih dalam
suasana transisi. Untuk itu, struktur pemerintahan yang ada masih tetap
dipertahankan sehingga pemerintahan Sinjai yang berstatus Kewedanaan dan berada
dalam naungan Daerah Swatantra Bonthain seperti halnya Bonthain sendiri,
Bukukumba dan Selayar.
Oleh karena Sinjai berada di bawah
pemerintahan Daerah Swantantra Bonthain maka yang mewakili Kewedanaan Sinjai
sebagai anggota DPR ialah St. Marwah Sulaiman dan M. Syurkati Said, dan A. Muh.
Saleh. Konon wakil dari kewedanaan Sinjai cukup berpengaruh, karena St. Marwah
Sulaiman dalam sejarahnya pernah membubarkan rapat DPR Bonthain karena terjadi
perbedaan prinsip.
VI.
KEPALA DAERAH KABUPATEN SINJAI
Sinjai sebagai kabupaten daerah tingkat II yang resmi kehadirannya
berdasarkan UURI. No.29 Tahun 1959, tepatnya 20 Oktober 1959, maka diangkatlah
Mayor A. Abd. Latief sebagai Kepala Daerah Kabupaten Tingkat II Sinjai yang
pertama.
Untuk melihat sejauh mana kondisi
pemerintahan setelah Sinjai resmi menjadi Daerah Kabupaten Tingkat II. Dengan demikian secara global dan
berturut-turut akan ditampilkan sebagai berikut :
1.
A. Abd. Latief 1960 – 1963
Mayor A. Abd. Latief yang
pertama diangkat menjadi Kepala Daerah Kabupaten Tingkat II di Sinjai sangat
merasakan kesulitan di dalam menjalankan pemerintahan, karena disamping terbatasnya sumber daya yang
berpendidikan, juga pendapatan daerah sangat terbatas. Namun demikian sebagai
putera daerah yang dikenal teguh pendirian dan jujur, diberi kepercayaan untuk menakhodai pertama
pemerintahan di Sinjai sehingga berusaha keras untuk menjalankan amanah dan
tanggung jawab sebagai Kepala
Pemerintahan.
Untuk memenuhi personalia yang
diperlukan, beberapa diantaranya tenaga yang
dialihkan dari status guru menjadi
aparat pemerintahan dan sebagian ditempatkan pada
instansi yang telah diadakan serta
digaji berdasarkan penghasilan daerah. Dengan cara
itulah pemerintahan dapat berjalan
sesuai apa adanya.
Sebagai kepala
pemerintahan tentu bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pembangunan. Untuk itu maka beliau
memaksimalkan usahanya dengan segala
kemampuan dan potensi yang
dimiliki untuk membangun fasilitas yang diperlukan.
Namun beliau mengalami kesulitan
dana pembangunan selama dalam
pemerintahannya, tetapi berhasil juga
meninggalkan beberapa sarana dan fasilitas
pemerintahan, diantaranya Kantor Kepala
Daerah, Kantor Kejaksaan, Kantor Pengadilan,
Kantor Pertanian, Kantor Gabungan, Rumah
Jabatan dan beberapa fasilitas lain yang
diperlukan dalam menjalankan kegiatan pemerintahan.
Apa yang telah dilakukan oleh A.
Abd. Latief selama kurang lebih tiga tahun
memimpin pemerintahan di Sinjai, tidak
lain hanyalah merupakan peletak dasar
pembangunan pemerintahan dengan
menggunakan dana yang bersumber dari pendapatan
asli daerah, tanpa kucuran dana dari
pemerintah pusat.
2.
Andi Azikin 1963 – 1967
Andi Azikin adalah
putera daerah Sinjai yang kedua memimpin Kabupaten Sinjai dalam jabatan Kepala
Daerah. Beliau, sebelumnya adalah karyawan kantor penerangan propinsi Sulawesi
Selatan yang berkedudukan di Makassar.
Andi Azikin terpilih sebagai
Kepala Daerah yang kedua menggantikan A. Abd.
Latief hasil pemilihan DPRD Sinjai, merupakan pelanjut apa yang telah diletakkan
oleh
A.
Abd. Latief. Beliaupun masih
mengalami kesulitan baik dari sektor sumber daya
manusia maupun sumber pendanaan pembangunan. Namun demikian A. Azikin
sebagai sosok pemimpin yang bertanggung jawab memimpin daerah Sinjai sehingga
beliau harus berupaya untuk memajukan Sinjai sesuai kemampuan yang ada.
Kehadiran beliau
sebagai pemimpin pemerintahan di Sinjai
mulai menggarap potensi-potensi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah guna
membiayai sektor yang menjadi perencanaan pemerintah daerah.
Upaya maksimal dengan
menggunakan dana dan daya yang masih sangat minim.
Namun demikian beliau masih dapat
menambah pasilitas pelayanan seperti terminal,
Rumah Jabatan, dan beberapa fasilitas
kantor yang diperlukan di dalam menjalankan
pemerintahan.
Disamping usahanya menambah
fasilitas pelayanan masyarakat, beliau juga
menggunakan tenaga dan pikiran yang
ekstra keras untuk meletakkan dasar pembangunan
jalan raya ibu kota yang cukup banyak
menghadapi tantangan, karena dasar jalan raya
dibangun di atas tanah persawahan rakyat
dan dilaksanakan secara gotong royong dengan
mengerahkan massa rakyat desa secara
bergantian yang dipimpin oleh Kepala Desanya
masing-masing.
Untuk mensukseskan pembangunan
dasar jalan raya di perkotaan, beliau sebagai
Kepala Daerah senantiasa berada di
tengah-tengah masyarakat yang giat bergotong
royong sehingga sering terdengar suara
pistol sebagai tanda komando dan pendorong
semangat untuk melancarkan kegiatan
gotong royong.
3.
Drs. H. M. Nur Tahir 1967 – 1971
Drs. H. M. Nur Tahir
sebagai Kepala Daerah yang ketiga berdasarkan penetapan Menteri Dalam Negeri (
Amir Mahmud ). Beliau juga merupakan sosok putera daerah Sinjai yang menduduki
posisi di kantor Gubernur. Pada masa ini merupakan masa transisi pelaksanaan
pemerintahan yang akan memasuki masa sentralisasi oleh pemerintahan Orde Baru
dibawa kepemimpinan Soeharto.
Selama masa jabatan beliau
tidak dapat berbuat banyak karena menghadapi kemelut,
pro kontra masyarakat Sinjai. Namun
beliau sebagai putera daerah Sinjai yang
kehadirannya tidak sepenuhnya masyarakat
Sinjai menerima dengan baik. Hal ini
disebabkan hasil pemilihan di DPRD
Sinjai tidak sesuai dengan keputusan Menteri Dalam
Negeri. Maksudnya yang mendapat suara
terbanyak dalam pemilihan di DPRD Sinjai saat
itu adalah A. Ramlan Bagenda SH, tetapi
yang keluar penetapannya dari Mendagri adalah
Drs. H. Muh. Nur Tahir. Inilah yang
memicu terjadinya pro kontra di dalam masyarakat
sehingga terjadi protes keputusan
Mendagri oleh tokoh-tokoh masyarakat Sinjai. Kondisi
inilah yang menimbulkan kemelut
yang berkepanjangan, mengakibatkan
terlibatnya satu
kompi anggota KOREM Bone yang dipimpin
oleh Kapten A. Mappa menjadi
pengamanan dalam menengarai komplik yang
berkepanjangan tersebut sampai akhir masa
jabatan.
Komplik tersebut manjadikan
Drs. H. Muh. Nur Tahir dilantik di Makassar dan
hanya kurang lebih setahun di Sinjai
kemudian kembali ke Makassar. Karena tidak dapat
menjalankan pemerintahan maka pada tahun
kedua Drs. A. Bintang M. Dikirim ke Sinjai
untuk menyelesaikan masa jabatan Drs. M.
Nur Tahir selama kurang lebih 3 tahun.
4.
Drs. H. A. Bintang M. 1971 - 1983
Kehadiran Drs. H. A.
Bintang M menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan Drs. H. Muh. Nur Tahir yang kurang labih tiga
tahun karena menghadapi kemelut
berkepanjangan akibat dari penetapan Mendagri yang tidak sesuai dengan
aspirasi hasil pemilihan DPRD Sinjai. Itulah yang menyebabkan Drs. H. A.
Bintang M. Ditunjuk untuk Menjabat sebagai Kepala Daerah selama tiga tahun
untuk menyelesaikan masa jabatan Drs. H. M. Nur Tahir. Kemudian terpilih
kembali hingga dua periode sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Sinjai.
Drs. H. A. Bintang M.
Merupakan Kepala Daerah yang keempat,
kehadirannya
telah menjumpai peninggalan A. Abd.
Latief dan A. Azikin yang telah meletakkan dasar-
dasar pembangunan berupa gedung
perkantoran yang jumlahnya masih terbatas, demikian
pula pundasi jalan ibu kota yang sudah
diatur dengan baik. Itulah hasil usaha kedua
pendahulu Sinjai di dalam suasana
kegersangan.
Kehadiran Drs. H. A. Bintang M.
Untuk memimpin pemerintahan di Sinjai
bersamaan dengan digulirkannya
pemerataan pembangunan berdasarkan GBHN. Atas
dasar itulah maka kucuran dana mulai
melimpah ruah dari pusat pemerintahan yang
didistribusikan keseluruh daerah Tingkat
II di Indonesia.
Lewat kucuran dana pemerataan
pembangunan, para pejabat pun mulai menikmati
enaknya menjadi pejabat, fasilitas
pelayanan mulai ditingkatkan dan dikembangkan terus,
proyek berjalan terus sesuai perencanaan
dan jumlah penduduk. Dengan demikian maka
proyek pembangunan berjalan terus
disemua lini dengan maksud meningkatkan
kesejahteraan rakyat, maka diusahakanlah
penambahan pasilitas diantaranya Rumah
Jabatan baru, Gedung DPRD (sekarang gedung Dharmawanita), Pasar Sentral (kini
pusat
pertokoan), TPI Lappa, PDAM. Jadi pemimpin yang
diperlukan pada saat itu adalah
orang yang memiliki kemampuan manajerial
skil yang baik, memiliki kemampuan
menyusun perencanaan yang berasaskan
pemerataan.
Kalau kita mengamati selama
pemerintahan Drs. H. A. Bintang M, maka yang
terlihat adanya pemerataan pembangunan
sehingga tidak terlihat kesenjangan antara kota
dan kecamatan maupun desa, utamanya dalam
hal sarana pendidikan dan jalan.
Kucuran dana setiap tahun
anggaran pembangunan yang berjalan dengan sistem
sentralisasi selama ini menjadikan kreatifitas untuk meningkatkan
kualitas sumber daya
masyarakat di sektor produksi terabaikan,
karena semata hanya berfikir untuk menggaet
dana dari pusat untuk membiayai
pembangunan. Itulah yang menyebabkan sehingga
dewasa ini terasa kekurangan sumber daya
manusia yang berpotensi untuk menggerakkan
sektor produksi, karena selama ini sudah
keenakan disuapi terus.
5.
H. A. Arifuddin Mattotorang SH.
1983 – 1993
Kepergian Drs. H. A.
Bintang M., digantikan oleh H. Arifuddin Mattotorang SH. untuk melanjutkan
pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Sinjai. Pada masa ini mulai mencuat pembicaraan PAD, karena
disamping kucuran dana yang bersumber dari pusat, juga sudah mulai memikirkan
pengembalian dana pinjaman yang telah meluncur dan dimanfaatkan dalam membangun
sarana kebutuhan pelayanan masyarakat.
H. A. Arifuddin Mattotorang SH.
Selama masa jabatannya berusaha terus untuk
meningkatkan PAD. Atas upaya itu maka
beliau berhasil meninggalkan rumah jabatan
dan Kantor Bupati, Gedung DPRD yang baru, demikian pula pasar sentral
yang baru
setelah yang lama terbakar, pembukaan
dermaga penumpang kampung ujung Lappa,
Rumah Sakit Umum, beberapa sarana pendidikan dan jalan diadakan
dengan dasar
pemerataan.
Menjelang akhir masa jabatan,
beliau mencoba menjaring pendapat dan usul
masyarakat tentang pembangunan melalui
organisasi yang ada sehingga pada saat itu
Muhammadiyah Sinjai berpeluang
mengusulkan pengadaan Traffic Liht di poros jalan ibu
kota dan pengadaan hutan kota sebagai
paru-paru kota.
6.
H. Moh. Roem SH. Msi. 1993 - 2003
Kepergian H. A.
Arifuddin Mattotorang SH. telah menghabiskan masa jabatannya selama dua periode
dan digantikan oleh H. Moh. Roem SH.
Beliau sebelumnya adalah dosen pada Fakultas Hukum UNHAS Makassar yang kemudian
dipromosikan untuk dicalonkan menjadi Bupati, Juga beliau aktip sebagai anggota
DPRRI Fraksi Golkar melalui jalur AMPI.
Kehadiran H. Moh. Roem SH. sebagai
putera daerah yang keempat menakhodai Sinjai, disamping melanjutkan
kebijaksanaan H. A. Arifuddin
Mattotorang SH dalam mendistribusikan dana
pembangunan secara merata, juga berusaha
menggarap proyek-proyek baru dengan
menggunakan PAD dan bantuan Propinsi dan
Pusat.
H. Moh. Roem SH. melihat
bahwa pembangunan yang dilaksanakan secara merata
selama ini cukup memadai sehingga
proyeksi pembangunan di arahkan kepada
pembangunan ibu kota kabupaten Sinjai
untuk menampakkan wajah kota Sinjai.
Disamping itu, juga melirik obyek-obyek
yang dapat meningkatkan pendapatan daerah.
Dengan demikian maka bekas pasar sentral
yang habis dilalap jago merah dibangun
kembali dan dijadikan pusat pertokoan,
terminal bus direalokasikan ke Bongki berdekatan
dengan PDAM dengan harapan akan memuat
mobil angkutan lebih banyak. Juga
menggarap pelabuhan Larea-Rea yang
diharapkan menjadi pelabuhan antar pulau yang
dapat disinggahi kapal PELNI Juga mencoba mengadakan penggalian sungai
tangka,
tetapi hasilnya tidak sesuai dengan
harapan
Kalau pelabuhan Larea-Rea
Sinjai telah selesai dan berfungsi, maka diprediksi
pelabuhan Sinjai akan menjadi pelabuhan
transito, baik yang memuat penumpang maupun
yang akan memuat barang.
Beliau juga menangani
pengembangan markisa yang diharapkan akan menjajdi
produksi primadona dikemudian hari
sebagai hasil produksi agro industri.
Apa yang telah dilakukan oleh
Pemda Sinjai yang dipimpin oleh H. Moh. Roem
SH rupanya menyesuaikan dengan arah
pembangunan yang mengacu pada GBHN dan
perkembangan masyarakat sehingga pada
tahun 1997 melahirkan suatu Motto. “ SINJAI
BERSATU yang merupakan kependekan kata
dari ( Bersih, Elok, Rapi, Sehat, Aman,
Tangguh ).
7.
A. Rudiyanto Asapa SH. LLM. 2003 –
A. Rudiyanto Asapa
SH. sebagai putera daerah Sinjai yang kelima terpilih menjadi Bupati yang
ketujuh menggantikan H. Moh. Roem SH. melalui pemilihan di DPRD Sinjai. Sebelum
hadir menjadi Bupati Sinjai yang ketujuh, beliau berprofesi sebagai pengacara
yang cukup dikenal karena reputasinya pada bidang profesi yang digeluti.
Rupanya A. Rudiyanto Asapa SH.
menjadi Bupati Sinjai, tidak semudah jalan
yang
dilalui oleh pendahulunya, sebab A. Rudiyanto Asapa SH. melalui jalan
yang
berliku dan arus berhadapan dengan
beberapa pasangan calon Bupati sebagai pesaingnya.
Aturan pemilihan yang dilalui oleh A. Rudiyanto
Asapa SH merupakan aturan
yang baru diberlakukan sejak Indonesia merdeka, yaitu
harus dicalonkan oleh partai dan
memaparkan visi misinya dihadapan publik, dan dihadapan anggota legilatif. Sesudah itu
dilalui barulah diperkenankan memasuki arena pemilihan di DPRD melalui dua
tahapan
pemilihan. Tahap pertama merupakan tahap
penyisihan untuk memperoleh dua kandidat
calon dari tiga calon pasangan, yaitu :
1.
FPP mencalonkan Prof. Dr. Najib Bustan
berpasangan dengan Ir. Ahmad Negarawan Said
2.
Fraksi Golkar mencalonkan H. A.
Razak Alty BA berpasangan dengan Sabirin Yahya S. Sos.
3.
Fraksi Reformasi mencalonkan A.
Rudiyanto Asapa SH. berpasangan dengan Syamsu Mus S. Sos.
Adapun yang berhasil lolos di babak penyisihan ialah Pasangan Prof. Dr.
Najib Bustan memperoleh suara sebanyak
3, pasangan H. A. Razak Alty BA memperoleh suara sebanyak 14, dan pasangan A.
Rudianto Asapa SH mendapat suara sebanyak 14.
Pada tahap kedua
pemilihan diadakan untuk memilih calon terpilih Bupati
sebagai penentu siapa yang bakal menjadi pemenang untuk menduduki jabatan
Bupati,
ternyata pasangan A. Rudianto Asapa SH
dengan Drs. Syamsu Mus memperoleh suara
17
dan pasangan H. A. Razak Alty BA dengan
Sabirin Yahya S. Sos. Memperoleh suara
sebanyak 13. Dengan demikian maka
pasangan A. Rudiyanto Asapa SH yang berhasil
menjadi pemenang untuk menduduki jabatan
Bupati Sinjai untuk periode 2003 - 2008.
Pelaksanaan pemilihan kali ini
merupakan suatu peristiwa bersejarah selama
Indonesia merdeka dan selama Sinjai
menjadi kabupaten karena pelaksanaan pemilihan
disaksikan oleh masyarakat Sinjai lewat TV Monitor yang
ditempatkan agak jauh dari
situs
pelaksanaan pemilihan dengan pengawasan yang ketat dan bersahabat dari
pihak
pengamanan.
Apa yang telah dilakukan oleh
A. Rudiyanto Asapa SH., rupanya disini belum dapat
dikemukakan karena beliau masih dalam
kondisi menjalani masa jabatan. Tapi yang pasti
beliau akan berbuat lebih baik dari apa
yang telah dilakukan pendahulunya, apakah
sipatnya memelihara, menambah atau
sekalian membuat trobosan baru dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Sinjai. Apalagi beliau pada masa pra pemilihan
telah mengemukakan visi dan misinya
untuk membangun dan mengembangkan Sinjai
kedepan.
Sebagai
generasi pelanjut pembangunan Sinjai yang kedepan, beliau telah
menetapkan tiga pilar
pembangunan Sinjai, yaitu pembangunan dalam bidang pendidikan,
Agama, dan Kesehatan
sebagai acuan langkah untuk mewujudkan visi dan misinya.
VII. PENUTUP
Berdasarkan catatan di atas yang diambil
dari berbagai sumber dan pengamatan penulis dari periode ke periode rasanya
masih terlalu banyak hal yang perlu dikemukakan, tetapi sebagai langkah awal penelusuran Sinjai dari masa ke masa secara
global, tentu masih tetap diharapkan adanya upaya dari pihak
tertentu untuk melanjutkan sehingga
tapak- tapak Sinjai masa lalu, kini, dan yang akan datang dapat melengkapi
catatan tersebut.
Namun demikian, pada bagian
ini akan mengemukakan kesimpulan, bahwa :
-
Nilai dan semangat kebersamaan,
kejujuran dan konsekwen di dalam menjalankan
amanah perlu ditumbuh
kembangkan untuk menata Sinjai kearah yang lebih maju dan
dinamis.
-
Nilai sejarah masa lalu dapat
merupakan acuan di dalam mempertahankan ciri dan jati
diri sebagai masyarakat Sinjai yang dikenal ramah,
sosial, dan religius.
-
Perlu menumbuhkan kebiasaan
menghargai dan menghormati jeri payah dan hasil
perjuangan para pendahulu
kita.
- Pemberdayaan masyarakat Sinjai
perlu digalakkan sebagai upaya penumbuhan
inovasi dan kreatifitas
untuk menggali potensi yang dapat dikembangkan dalam
meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraannya.
Penulis menyadari
bahwa catatan ini masih terlalu banyak kekurangannya sehingga
diharapkan kepada pembaca yang mempunyai
catatan autentik kiranya dapat
memberikan masukan guna penyempurnaannya, begitu pula catatan bupati dari
periode ke periode dapat dikembangkan terus sesuai dengan perkembangan sehingga
nantinya dapat menjadi catatan yang bersambung terus-menerus. Lebih dan
kurangnya mohon dimaafkan.
Sinjai, 14
Februari 2006
SUMBER BAHAN
PENULISAN
1.
Catatan Perjuangan Pemuda dan
rakyat Sinjai menghadapi Kolonialisme. Tim
Penyusun Sejarah Perjuangan
Rakyat Sinjai
2.
Catatan dan penuturan M. Syurkati
Said ketika masih dalam kondisi prima
3.
Data Statistik, Kantor Statistik
Kabupaten Sinjai.
4.
Dokumen bahan-bahan seminar
penelusuran hari jadi Sinjai 2-3
September 1994.
5.
Sejarah Kerajaan Bulo-Bulo,
Tondong Dan Lamatti, H. Basrah Gising, Era Media, Makassar, Cet.I, November
2002.
6.
Wawancara dengan H. M. Sattar,
salah seorang pelaku sejarah perjuangan rakyat Sinjai.